Rabu, 09 Januari 2008

PAREUMEUN OBOR

oleh : Cecep Burdansyah

PEPATAH orang tua selalu bijak. "Kade jang, dulur teh longokan, ulah nepi ka pareumeun obor."
Peribahasa Pareumeun Obor sudah jadi ungkapan yang memperkaya bahasa dan sastra Sunda. Dalam kamus terbitan LBSS, Satjadibrata, maupun kamus besar Basa Sunda karangan Danadibrata, maknanya sama: yakni leungiteun pancakaki, nepi ka teu wawuh ka dulur. Begitu pula makna yang termuat dalam Babasan dan Paribasa, Kabeungharan Basa Sunda susunan Ajip Rosidi.
Orang bisa pareumeun obor, karena dia atah anjang jeung dulur, alias tak pernah menengok saudaranya sendiri, sehingga kelak ia tak tahu silsilah keluarganya. Misalnya, tak jarang saya bertemu dengan seseorang, setelah diurut-urut keluarga karuhunnya, dari orang tuanya, kakek, hingga uyut, ternyata orang itu sebetulnya masih famili. Saya dan orang itu sama-sama pareumeun obor, sehingga sama sekali saling tak mengenal.
Ayah saya selalu bilang dalam konteks yang lebih luas. "Jeung dulur teh ulah nepi ka pareumeun obor, ke jaga bisi diparengkeun jadi pamingpin, kudu nyaho ka rayatna, bisi aya nu teu manggih dahar. Kudu siga khalifah Umar."

Teman-teman saya, Wa Sasmita, Dian Hendrayana, Iip Zulkifli Yahya, termasuk orang-orang yang tak mau pareumeun obor dengan budayanya sendiri. Mereka kini sedang sibuk membuat komik Wastukancana, tokoh sejarah Sunda.
Mungkin saja ada yang mengkritik, wah itu kan kebiasaan orang Sunda yang suka ngumbar nostalgia. Kritik itu mudah saja ditangkis. Nilai-nilai yang baik tak pernah usang, walau diproduksi dari masa silam.

Masyarakat Sunda tahu nilai-nilai yang ditanamkan Wastukancana sangat baik diresapi oleh manusia zaman sekarang, apalagi oleh para pemimpin. Kalau buruk, buat apa namanya diabadikan jadi nama jalan di Kota Bandung.
Agar tidak pareumeun obor pada nilai-nilai Wastukancana , Wa Sasmita saparakanca berusaha membuat cerita komiknya. Tentu saja tak mudah memvisualkan tokoh Wastukancana, pasti ada pro kontra, karena tak ada dokumentasi foto seperti apa figur Wastukancana.

Tetapi keberanian membuat cerita komik Wastukancana merupakan terobosan yang patut diacungi jempol. Sebagai perbandingan, kreatifitas perupa Onong Nugraha layak ditiru. Ia seorang maestro seni rupa yang berani memvisualkan tokoh-tokoh Sunda dalam sastra dan sejarah Sunda, seperti Prabu Siliwangi, Wastukancana, Tarusbawa dan lainnya.
Upaya agar kita tidak pareumeun obor pada saudara sendiri, pada budaya sendiri, penting dilakukan. Ingat, anak muda sekarang lebih gandrung pada budaya harajuku daripada budayanya sendiri. Masih mending kalau mereka tahu bahwa harajuku itu budaya Jepang, bagaimana kalau sampai ada yang menganggap itu budaya miliknya sendiri. Benar-benar pareumeun obor.

Para pemimpin di pemerintahan juga sedang berupaya agar kita tidak pareumeun obor pada seni budaya dan senimannya. Walikota Bandung, Gubernur Jabar, dan pemerintah pusat sudah mentradisikan penganugrahan seni budaya.
Kita layak mengapresiasinya, meskipun terkadang keseleo, orang yang hanya getol pakai iket di kepala dan baju kampret diberi penghargaan, padahal ia cuma gemar bersimbolik saja, sementara karya nyatanya nihil. Sebaliknya, seniman yang reputasinya mendunia dan gigih dalam regenerasi, seperti Mimi Rasinah, Taham, Wangi Indriya, Eutik Muhtar, Onong Nugraha, malah
terlupakan.
Mengapa hal itu bisa terjadi?
Ya, karena pareumeun obor.*

1 komentar:

Unknown mengatakan...

sapertos biasa..kang cecep mah sok mundel eusina teh...pencerahan kanggo abdi mah kang...